KUMALANEWS.ID, KUTAI KARTANEGARA – Di tengah hiruk-pikuk modernisasi yang terus merambah Kota Tenggarong, berdiri sebuah bangunan ikonik yang seakan tak lekang oleh waktu yaitu Jam Nirum. Lebih dari sekadar penunjuk waktu, bangunan bersejarah ini adalah saksi hidup dari perjalanan panjang Kota Tenggarong dari era Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, masa penjajahan Belanda, hingga zaman digital saat ini.
Pamong Budaya Ahli Muda Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kukar, Mohammad Saidar, atau sapaan akrab Derry, menjelaskan bahwa Jam Nirum memiliki fungsi yang sangat vital pada masanya, bukan hanya sebagai penanda waktu, tetapi juga simbol keteraturan sosial dan religius masyarakat.
“Jam Nirum dulu menjadi acuan utama masyarakat dalam menjalankan aktivitas harian, termasuk untuk waktu salat. Letaknya sangat dekat dengan Masjid Jami Hasanuddin, menjadikannya tidak hanya simbol kota, tetapi juga penanda spiritual masyarakat,” ungkap Derry saat ditemui Minggu (29/6/2025).
Jam Nirum dibangun pada 8 September 1936 untuk memperingati pertunangan Putri Juliana dari Belanda dan Pangeran Bernhart dari Jerman. Dibalik momen kerajaan Eropa itu, hadir pula kepentingan pemerintah kolonial Belanda untuk memperkenalkan sistem waktu modern kepada masyarakat lokal.
“Pembangunannya diprakarsai oleh Asisten Residen Belanda, dan arsitekturnya mengusung gaya Indische Empire gaya yang mencampurkan unsur Eropa dan tropis. Ini menunjukkan bagaimana kolonialisme hadir melalui infrastruktur,” ujar Derry.
Namun, meski berasal dari masa Kolonial, Jam Nirum justru diterima dan dirawat sebagai bagian dari identitas masyarakat Kutai. Bagi warga Tenggarong, bangunan ini menyimpan kenangan akan masa lalu, keteraturan sosial, serta dinamika antara kekuasaan lokal dan asing.
Letak strategis Jam Nirum menjadi keistimewaan tersendiri. Berdiri di antara bekas Keraton Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura (kini Museum Mulawarman) dan Masjid Jami’ Adji Amir Hasanuddin, bangunan ini menjadi titik sentral kegiatan masyarakat.
Dalam berbagai peristiwa sejarah, mulai dari penobatan Sultan, perayaan Hari Besar Islam, hingga pengumuman administratif dari pemerintahan Kolonial, Jam Nirum selalu menjadi titik acuan.
“Jam ini seolah berada di simpul budaya antara kekuasaan Kesultanan dan kehidupan spiritual masyarakat. Ia bukan hanya penanda waktu, tapi penanda arah peradaban kita,” kata Derry.
Hingga kini, Jam Nirum tetap berdiri kokoh. Namun seiring bertambahnya usia, pelestarian bangunan ini menghadapi berbagai tantangan, mulai dari faktor cuaca ekstrem di Kalimantan Timur (Kaltim), pelapukan material, hingga minimnya tenaga konservasi budaya.
“Kita dihadapkan pada dilema antara menjaga keaslian material dan kebutuhan restorasi. Usianya sudah hampir satu abad. Perubahan iklim dan lingkungan membuat pelestarian semakin kompleks,” jelas Derry.
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kukar kini bertanggung jawab atas pelestarian Jam Nirum sebagai bagian dari kawasan cagar budaya. Upaya ini termasuk penataan kawasan Keraton, edukasi publik, serta wacana menjadikan Jam Nirum sebagai pusat informasi sejarah digital.
Di tengah era digital dan derasnya arus informasi, Jam Nirum tetap menjadi titik yang menarik perhatian generasi muda meskipun dari sudut pandang yang berbeda. Banyak anak muda memanfaatkan Jam Nirum sebagai latar untuk konten media sosial.
“Bisa jadi mereka tidak tahu siapa Putri Juliana, tapi mereka tahu kalau ini ikon Tenggarong. Itu adalah peluang kita untuk mengemas sejarah jadi lebih menarik, agar tidak kehilangan makna,” tutur Derry.
Namun, ia juga mengingatkan pentingnya narasi edukatif agar Jam Nirum tidak sekadar menjadi ‘bangunan tua’ di mata generasi masa kini.
Sebagai simbol kota dan penanda sejarah, keberadaan Jam Nirum memiliki nilai tak ternilai bagi Kukar. Menurut Derry, melestarikan bangunan ini berarti menjaga memori kolektif masyarakat.
“Jam Nirum adalah monumen hidup. Ia tidak bicara, tapi merekam banyak peristiwa. Kalau kita biarkan terlupakan, maka kita kehilangan sepotong jati diri kita sendiri,” tutupnya.
Pemerintah Kukar diharapkan terus mengembangkan program konservasi dan edukasi sejarah, agar Jam Nirum tidak hanya menjadi bangunan tua, tapi juga jembatan antara masa lalu dan masa depan.
Pewarta : Muhammad Zailany Editor : Fairuzzabady
















