KUMALANEWS.ID, KUTAI KARTANEGARA – Suasana malam ketujuh Erau Adat Kutai Kartanegara Ing Martadipura berlangsung lebih semarak dibanding malam-malam sebelumnya. Pada Sabtu (27/9/2025) malam itu, selain ritual Bepelas, juga digelar dua prosesi sakral yang hanya diselenggarakan pada momen ini, yaitu Menyisik Lembuswana dan Seluang Mudik Betebak Beras. Keduanya menjadi penanda bahwa rangkaian Erau segera berakhir.
Prosesi diawali dengan ritual Menyisik Lembuswana. Sultan Kutai Kartanegara Ing Martadipura ke-XXI, Aji Muhammad Arifin, bersama para kerabat bangkit dari posisi bersila untuk menghampiri Tambak Karang Lembuswana. Satu per satu mereka meletakkan mata uang kertas maupun logam pada bagian tubuh Lembuswana, mulai dari kepala yang bermahkota, belalai, kaki, ekor, sayap, hingga sisik, seraya mengutarakan niat dan doa sesuai makna simbolis yang terkandung dalam sosok mitologis tersebut.
Usai menyisik Lembuswana, rangkaian prosesi di dalam Keraton dilanjutkan dengan Tari Sakral Ganjur serta upacara ritual lainnya. Selanjutnya, Sultan Aji Muhammad Arifin menghadap ke Tiang Ayu sambil memegang tali Juwitan dan kain Cinde untuk melaksanakan ritual Bepelas ketujuh yang diiringi dentuman meriam.
Setelah Bepelas usai, perhatian beralih pada prosesi Seluang Mudik Betebak Beras, sebuah ritual meriah penuh canda tawa. Dalam prosesi ini, para hadirin saling melempar beras sebagai simbol rasa syukur atas kemakmuran pangan yang dilimpahkan Sang Pencipta. Bagi masyarakat Kutai, beras bukan sekadar makanan pokok, melainkan lambang kemakmuran sekaligus doa agar hasil panen semakin meningkat di masa depan.
Ritual ini dibuka dengan pertunjukan Tari Kanjur (Kanjar) oleh para kerabat Kesultanan. Tarian yang ditampilkan dalam barisan berlapis-lapis ini melambangkan kehidupan ikan seluang di Sungai Mahakam. Terdapat dua bentuk tari kanjur, yakni kanjur laki yang dibawakan oleh barisan pria, dan kanjur bini oleh barisan wanita, keduanya ditampilkan secara bergantian.
Usai tarian, seorang pawang atau sesepuh memimpin ritual besawai lalu menaburkan beras sri weja kuning kepada para hadirin. Penaburan ini menjadi tanda dimulainya behambur beras atau saling melempar beras di antara semua yang hadir. Pihak Keraton bahkan telah menyiapkan wadah-wadah beras di setiap sudut ruang Stinggil (Siti Hinggil) agar seluruh tamu dapat ikut serta.
Dalam prosesi ini, tak seorang pun luput baik Sultan, para sesepuh Kesultanan, Bupati Kutai Kartanegara, hingga tamu kehormatan lainnya ikut terlibat dan hanyut dalam suasana penuh sukacita. Ritual berakhir seiring meredupnya alunan gamelan pengiring tari kanjur hingga akhirnya berhenti sama sekali.
Pewarta & Editor : Fairuzzabady