KUMALANEWS.ID, KUTAI KARTANEGARA – Selama perayaan Erau Adat Pelas Benua, setiap hari digelar sebuah ritual khusus di area depan Keraton Kutai Kartanegara Ing Martadipura atau yang kini dikenal sebagai Museum Mulawarman.
Ritual sakral ini disebut Beluluh, yakni prosesi penyucian bagi Sultan Kutai Kartanegara Ing Martadipura ke-XXI, Aji Muhammad Arifin. Tujuannya untuk membersihkan Sultan dari berbagai unsur kejahatan, baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat.
Biasanya dilaksanakan pada sore hari, prosesi dimulai dengan Sultan yang didudukkan di atas tilam kasturi sebagai tahap pembukaan. Selanjutnya, Sultan bangkit dan menaiki balai bambu dengan terlebih dahulu memijak pusaka batu tijakan.
Sultan kemudian duduk di bagian tertinggi balai, tepat di bawah ikatan daun beringin (rendu), dan dipayungi selembar kain kuning bernama kirab tuhing. Setelah itu, prosesi tepong tawar dilaksanakan. Dalam tahap ini, Belian Bini memercikkan air kembang ke sekeliling Sultan. Sultan lalu mengusap kepalanya dengan air tersebut, sebelum Belian Bini menaburkan beras kuning sebagai simbol doa dan restu.
Usai tepong tawar, ritual berlanjut dengan prosesi menarik ketikai lepas, yakni anyaman daun kelapa yang dirancang agar terurai saat kedua ujungnya ditarik. Dalam prosesi ini, Sultan memegang salah satu ujung, sementara ujung lainnya ditarik oleh tamu kehormatan yang ditunjuk khusus, biasanya pejabat daerah atau tokoh tertentu. Prosesi ini sekaligus menjadi penutup dari rangkaian ritual Beluluh.
Perlu diketahui, nama Beluluh berasal dari gabungan kata buluh yang berarti batang bambu dan luluh yang berarti musnah. Penamaan ini merujuk pada balai bambu bertingkat tiga yang digunakan sebagai singgasana Sultan selama ritual. Balai tersebut diletakkan di atas lukisan tambak karang, dengan kaki-kakinya dihiasi daun kelapa. Pada setiap sudutnya, ditempatkan sesajian bernama peduduk.
Menurut kepercayaan masyarakat setempat, segala unsur jahat yang mengitari Sultan akan diluluhkan di atas balai bambu tersebut, sehingga Beluluh bukan hanya ritual adat, melainkan juga simbol penyucian dan perlindungan bagi Sultan Kutai Kartanegara Ing Martadipura.
Pewarta & Editor : Fairuzzabady